Sejarah

Pondok Pesantren Miftahul Ulum Banyuputih Kidul atau yang dikenal dengan Pondok Banyuputih atau PPMU Bakid merupakan pesantren yang sudah cukup tua di wilayah Kabupaten Lumajang. Secara legal formal pesantren ini diresmikan pada tahun 1957 M. Tepat di utara jalan raya Surabaya-Jember, jurusan Tanggul, pesantren ini mulai dirintis sejak 78 tahun yang silam.

Pesantren ini bermula dari sebuah majlis taklim yang dirintis oleh R. KH. Sirajuddin bin Nasruddin bin Itsbat Pengasuh Pondok Pesantren Miftahul Ulum Bettet Pamekasan Madura. Pembentukan majlis taklim tersebut berawal dari sebuah keprihatinan salah seorang alunmi pesantren Bettet yang juga santri R.KH. Sirajuddin, yaitu Kyai Zainal Abidin Harral, saat melihat kondisi, tatanan sosial dan budaya masyarakat desa Banyuputih Kidul yang sangat jauh dari nilai-nilai ajaran Islam. budaya amoral, komunisme, tindak kriminal serta berbagai tindak kejahatan telah menyelimuti dan memberi warna kelabu di Banyuputih saat itu.

Kyai yang lebih akrab dengan sebutan Kyai Harral ini adalah seorang tuna netra yang terkenal kaya raya dengan sawah ladangnya yang sangat luas. Namun demikian beliau adalah orang sangat dermawan dan zuhud. Melihat kondisi masyarakat di atas, Kyai Harral yang pernah nyantri di Pondok Pesantren Miftahul Ulum Bettet Pamekasan Madura mempunyai keinginan untuk mendirikan majlis taklim atau tempat pendidikan dalam rangka membina moral dan akhlak masyarakat sekitar yang sangat jauh dari norma-norma ajaran Islam. Untuk mewujudkan keinginan mulia tersebut, Kyai Harral kemudian meminta pendapat, nasehat dan bantuan kepada salah satu ulama yang juga guru beliau sendiri yaitu RKH. Sirajuddin bin Nashruddin bin Itsbat.

Pada mulanya Kyai Harral tidak langsung mengutarakan akan keinginannya dalam mendirikan tempat pendidikan. Namun yang beliau utarakan adalah keinginannya memungut salah satu putra KH. Sirajuddin. KH. Sirajuddin pun tidak langsung mengiyakan permintaan KH. Harral karena menurutnya anak bukan untuk dibagi-bagikan.

Merasa tersentuh akan pengakuan KH. Harral yang tidak memiliki keturunan, KH. Sirajuddin akhirnya melepaskan Kiai Zuhri untuk dijadikan anak angkat KH. Harral yang pada waktu itu masih nyantri di Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan Jawa Timur. Merasa bahagia dengan semua itu, KH. Harral sangat menyambut bahagia dan bersedia untuk mengurus semua kebutuhan K Zuhri mulai pada waktu nyantri hingga beliau melangsungkan resepsi. Menurut beberapa catatan, hal ini terjadi sekitar tahun 1932 M/1354 H. atau 13 tahun sebelum Indonesia Merdeka.

Sejak itulah, RKH. Sirajuddin memulai membuka babak baru di desa Banyuputih Kidul. Konon tanah yang sekarang menjadi lokasi pesantren sekarang ini, dipenuhi jin-jin dan roh-roh jahat. Bahkan, lokasi yang dijadikan pesantren ini berada di lingkungan warga brutal tak bermoral. Masih suka dengan hal-hal jelek. Desa itu marak dengan pertengkaran dengan clurit (carok. Red). Salah ucap, nyawa taruhannya.

Beliau memulai kegiatan dakwahnya dengan melakukan pendekatan-pendekatan dengan beberapa tokoh dan masyarakat sekitar. Dalam menjalankan dakwahnya, beliau dengan penuh keikhlasan, ketawadluan dan tanpa kenal lelah, rela mendatangi satu rumah ke rumah yang lain untuk menanamkan nilai-nilai tauhid dan ajaran Islam, sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw ketika memulai dakwah sirran-nya kepada keluarga, sahabat dan orang-orang dekatnya.

Sekitar tahun 1940 M, majlis taklim baru bisa didirikan setelah melakukan akulturasi dengan masyarakat setempat. Majlis taklim ini diawali dengan pemberian pemahaman ajaran Islam dan amalan praktis sehari-hari (al-a’mal al-yaumiyah). Beberapa tahun kemudian, sekitar tahun 1944 M, RKH. Sirajuddin dan Kyai Haral serta dibantu oleh masyarakat sekitar berhasil membangun sebuah masjid sebagai sarana ibadah. Hari demi hari fungsi masjid pun kian berkembang, bukan sekedar tempat ibadah tapi juga sebagai sarana pendidikan, tempat memberi mauidzah hasanah dan pengajian. Masyarakat pun mulai banyak berdatangan untuk belajar ilmu agama. Untuk itulah, beberapa tahun kemudian pembangunan pun dilanjutkan dengan pendirian madrasah diniyah sebagai lembaga pendidikan agama.

Berkat perjuangan Kyai Haral dan RKH. Sirajuddin ini, masyarakat kian hari semakin banyak yang bersimpati. Tak hanya masyarakat sekitar, dari wilayah luar Lumajang pun mulai berdatangan untuk menuntut ilmu agama (tafaqquh fid-din) di Banyuputih, sehingga karena rumahnya yang jauh ada santri yang ingin menetap di pondokan madrasah. Konon santri angkatan pertama yang menetap di pondokan madrasah saat itu hanya 4 orang.

Seiring dengan bertambahnya waktu, santri pun kian bertambah banyak sehingga memerlukan perhatian penuh dan membutuhkan tenaga pengajar yang banyak pula. Untuk itu, RKH. Sirajuddin –yang tidak bisa menetap di Banyuputih, karena mempunyai tugas dan kewajiban sebagai pengasuh di pesantrennya,  PP Miftahul Ulum Bettet Pamekasan – mengutus Kyai Sufyan Miftahul Arifin, salah satu santri seniornya sebagai guru tugas untuk mengajar para santri dan masyarakat di Banyuputih. Setelah menyelesaikan tugasnya, Kyai Sufyan menetap di Situbondo tepatnya di desa Seletreng dan merintis pesantren sendiri di sana, Pondok Pesantren Sumberbunga. Setelah itu, Kyai Sufyan diganti dengan guru tugas berikutnya yang juga santri senior RKH. Sirajuddin, yaitu Kyai Sonhaji.

Di samping tugas mengajar, kedua tokoh tersebut juga mendapatkan tugas khusus dari RKH. Sirajuddin untuk menjadi pengasuh sementara di Banyuputih. Karena putra beliau Lora Zuhri bin Sirajuddin yang dipersiapkan untuk menjadi pengasuh saat itu masih menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan. Sehingga pada waktu itu, pesantren Banyuputih belum resmi didirikan, karena belum ada pengasuh yang tinggal menetap di pesantren. Tugas-tugas pengasuh (RKH. Sirajuddin) untuk sementara digantikan oleh guru tugas. Baru pada tahun 1957, setelah RKH. Zuhri menyelesaikan studinya di Pesantren Sidogiri dan kembali ke Banyuputih, maka Pondok Pesantren Miftahul Ulum Banyuputih Kidul secara resmi didirikan dengan ditandai piagam resmi dari pemerintah provinsi Jawa Timur.

Hari demi hari, nama PPMU semakin terdengar di masyarakat luas. Banyak masyarakat tertarik untuk memondokkan anaknya di PPMU. Sehingga jumlah santri pun kian bertambah dan meningkat. Saat itu, pembelajaran kitab kuning pun masih  dilaksanakan secara tradisional yaitu metode wetonan dan bandongan. Namun dengan seiring dengan berjalannya waktu dan dengan semakin meningkatnya jumlah santri yang bertambah pesat, pengurus pesantren melihat bahwa metode pembelajaran wetonan dan bandongan dengan jumlah santri yang sangat banyak sudah mulai kurang efektif.

Berangkat dari kondisi di atas, pada tahun 1976, mulailah dirintis pendirian Madrasah Diniyah yang juga diberinama Miftahul Ulum-sebagai salah satu solusi agar pembelajaran kitab kuning tidak hanya dilaksanakan secara wetonan dan bandongan, tetapi juga dilaksanakan secara klasikal dan berjenjang. Pendirian ini ditandai dengan pembangunan beberapa kelas sederhana sebagai sarana dan tempat belajar, yang bangun di sebelah barat masjid pesantren tidak jauh dari asrama santri.

Saat itu madrasah diniyah dikelola dengan manajemen sederhana dan menggunakan kurikulum lokal yang disusun oleh pihak pengurus pesantren. Pada  awal berdirinya Madrasah Diniyah, RKH. Zuhri sebagai pemegang kebijakan tertinggi di Pesantren menunjuk Kyai Ba’its Su’aidi – salah satu menantunya – sebagai kepala Madrasah Diniyah pertama.

Penamaan pesantren dan Madrasah Diniyah dengan nama ’Miftahul Ulum’ ini karena taf’ulan wa tabarrukan (baca: mengharap berkah) dari pesantren leluhurnya, PP Miftahul Ulum Bettet Pamekasan (Pesantren Kakeknya KH. Sirojuddin), PP Miftahul Ulum Panyepen (Pesantren Buyutnya KH. Nasruddin) dan juga nama madrasah Miftahul Ulum PP Sidogiri, pesantren almamater RKH. Zuhri.

Sejak RKH. Zuhri kembali ke Pesantren Miftahul Ulum sebagai pengasuh, Kyai Sonhaji kemudian menyerahkan kepemimpinan PPMU kepada RKH. Zuhri. Tak lama kemudian, atas saran dan bantuan dari RKH. Zuhri, Kyai Sonhaji beliau merintis pendirian Pesantren Baru  yang tak jauh dari PPMU, yaitu di Desa Banyuputih Lor yang kemudian dikenal dengan nama Pondok Pesantren Raudlatul Jadid” yang hingga saat ini tetap eksis.

Dalam beberapa tahun kemudian, Pesantren Miftahul Ulum di bawah asuhan RKH. Zuhri, semakin berkembang. Jumlah santri pun kia hari semakin meningkat pesat dan santri dari berbagai daerah luar wilayah Lumajang pun mulai berdatangan, sehingga membutuhkan penambahan asrama santri yang semakin banyak pula.

Pembangunan asrama santri pun terus dilakukan dan dikembangkan. Namun demikian, sarana dan bangunan fisik pondok santri saat itu masih sangat sederhana dan jauh dari kemewahan. Asrama santri hanya berupa gubuk bambu yang dibangun oleh santri sendiri. Konon, pernah ada beberapa santri membangun asrama tembok (seperti asrama saat ini), namun ketika RKH. Zuhri – yang terkenal zuhud dan wira’i – mengetahui hal tersebut, Beliau langsung memerintahkan santri-santri tersebut untuk membongkarnya. RKH. Zuhri membimbing para santrinya untuk menerapkan hidup sedarhana, zuhud dan tawakkal kepada Allah, menjauhi kemewahan hidup duniawi yang fana’ ini serta selalu mendekatkan diri kepada Allah swt.

Hari berganti hari, bulan berganti demi bulan, tahun pun terus berganti, selama 25 tahun, dengan penuh keteladanan dan kesabaran, RKH. Zuhri, membimbing para santri untuk menjadi orang yang mutafaqqih fid din serta menjadi ibadallah as-shalihin. Namun seiring dengan semakin bertambah waktu dan usia, tanpa disangka, RKH. Zuhri pun akhirnya dipanggil oleh Ar-Rafiq Al-A’la Dzat Yang Maha Kuasa. Menurut penuturan salah satu khadim­nya, RKH. Zuhri wafat pada malam Rabu tahun 1982 tepatnya pada bulan Sya’ban.

Setelah wafatnya RKH. Zuhri, estafet kepemimpinan PPMU kemudian dilanjutkan oleh menantu beliau (Suami Ny. Hj. Maimunah Zuhri) yang juga masih sepupu yaitu RKH. M. Thoyyib Rafi’i dari Pamekasan. Kepemimpinan RKH. M. Thoyyib ini berlangsung selama 8 tahun, yaitu dari tahun 1982 s/d 1990 M. Walaupun demikian, banyak keberhasilan-keberhasilan yang telah dicapai oleh RKH. M. Thayyib. Seiring dengan perkembangan dan tuntutan zaman yang terus berkembang, PPMU mengalami perkembangan yang signifikan, pembangunan gedung madrasah pun terus dilakukan, asrama santri pun perlahan-lahan mulai dibangun dari tembok dan tidak lagi terbuat dari gubuk bambu sebagaimana pada masa sebelumnya.

Pada periode kepemimpinan RKH. M. Thayyib inilah, lembaga pendidikan yang ada di bawah naungan PPMU mulai dikembangkan, tidak hanya meliputi pendidikan diniyah saja, tetapi juga membuka pendidikan formal, dari tingkat Ibtidaiyah/SD sampai tingkat Aliyah/SMA. Pada tahun 1983, PPMU berhasil membuka dan mendirikan lembaga pendidikan formal setingkat SLTP, yaitu MTs Miftahul Ulum. Setahun kemudian yaitu pada tahun 1984, PPMU berhasil mendirikan MI Miftahul Ulum. Setelah berhasil meluluskan siswa angkatan pertama dari MTs, maka untuk menampung lulusannya, pada tahun 1986, PPMU kemudian mendirikan Madrasah Aliyah Miftahul Ulum.

Keberhasilan Kyai Thoyyib dalam mengembangkan lembaga pendidikan di Pesantren Miftahul Ulum juga dibantu oleh KH. Ba’its Su’aidi menantu kedua KH. Zuhri; suami dari Ny. Hj. Romlah Zuhri. Dua tokoh ulama wira’i nan zuhud tersebut bahu-membahu dan saling bersinergi dalam mengasuh dan membina santri PP. Miftahul Ulum serta meletakkan dan membangun manajemen pendidikan yang kokoh dan adaptif terhadap perkembangan zaman.

Di era kepemimpinan RKH. M. Thoyyib dan KH. Ba”its ini pula, manajemen pesantren mulai dibenahi dan ditata dengan rapi dan professional dengan dibentuknya sebuah yayasan yang tidak hanya bergerak di bidang pendidikan saja, tetapi juga bergerak di bidang sosial dan dakwah. Yayasan tersebut kemudian diberi nama Yayasan Sosial, Pendidikan dan Dakwah Islamiyah Miftahul Ulum (YSPDI-MU) dengan akte notaris H. Abdul Wahib Zainal, SH. Nomor : 8/BH/85. Yang kemudian namanya di rubah menjadi Yayasan Miftahul Ulum ( YMU-BAKID ) dengan akte notaris Akte notaris H. Abdul Wahib Zainal, SH. Nomor 01 Tahun 2010.

Selanjutnya pada tahun 1990, RKH. M. Thoyyib Rafi’i dan KH. Ba’its menyerahkan kepemimpinan PPMU kepada RKH. M. Husni Zuhri, putra bungsu RKH. Zuhri bin Sirajuddin, yang telah selesai menempuh studinya di Makkah Al-Mukarramah di bawah bimbingan tokoh Al-Allamah Hadratus Syaikh Isma’il bin Zain Al-Yamani. Kepemimpinan RKH. M. Husni Zuhri ini merupakan periode generasi pengasuh yang ketiga.

Setelah menyerahkan estafet kepemimpinan PPMU kepada RKH. M. Husni Zuhri yang juga adik iparnya, RKH. M. Tahyyib merintis pendirian pesantren baru yang kemudian dikenal dengan Pondok Pesantren ”Bustanul Ulum” (PPBU) yang letaknya tidak jauh dari PPMU, yaitu di Dusun Karang Baru Desa Banyuputih Kidul. Sementara itu, KH. Ba’its Su’aidi juga merintis dan mendirikan pesantren yang djuga diberi nama Pondok Pesantren Miftahul Ulum yang terletak di Manggisan Tanggul Jember

Sejak tahun 1990 hingga sekarang di bawah asuhan RKH. Husni Zuhri, PPMU terus melakukan upaya-upaya pengembangan dan peningkatan. Pembangunan fisik untuk penyediaan sarana dan prasarana pendidikan terus dilakukan; laboratorium bahasa, laboratorium komputer, ruang workshop, Poskestren (Pos Kesehatan Pesantren). Di bawah asuhan RKH. M. Husni Zuhri ini pula, PPMU berhasil membangun gedung madrasah baru dengan kapasitas 12 lokal dan beberapa perkantoran bahkan pada tahun 2013 M. Kemaren berhasil mendirikan dan membuka sekolah tinggi yang di beri nama Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah (STIS), yang diresmikan oleh Syaikh Muhammad bin Ismail az-Zain al-Yamani, tokoh ulama dari Makkah Al-Mukarramah pada 07 Sya’ban 1430 H.

Dari sejarah perjalanan panjang PPMU hingga kini, kepemimpinan PPMU dapat dibagi menjadi 2 (dua) masa/periode; yaitu masa rintisan dan masa pasca diresmikan. Berikut adalah para masyayikh Pondok Pesantren Miftahul Ulum dari sejak berdirinya sampai sekarang:

  • Masa Rintisan (1932-1957)
  1. KH. Sirajuddin bin Nasruddin (1932-1944 M)
  2. KH. Sufyan dan KH. Sonhaji (1944-1957 M)
  • Pasca PPMU Diresmikan (1957- sekarang)
  1. KH. Zuhri bin Sirajuddin (1957-1982 M)
  2. KH. M. Thayyib Rafi’i dan KH. Ba’its Su’adi (1982-1990 M)
  3. KH. M. Husni Zuhri (1990-sekarang)

Sumber : www.mubakid.or.id